Mantan Menteri Kesehatan Indonesia, Siti Fadilah Supari mengatakan belum ada sejarahnya vaksinasi menghentikan pandemi. Upaya yang dilakukan saat ini untuk menghentikan pandemi Covid 19 dengan program vaksinasi adalah percobaan pertama di dunia. "Tetapi kalau herd immunity mungkin iya. Karena ini suatu pengalaman yang didapat pada waktu Spanish flu dulu. Di mana 70 persen populasi di Spanyol ternyata sudah mempunyai kekebalan," katanya.
"Yang ditiru adalah bagaimana mengkebalkan populasi kita," katanya. "Tetapi saya nggak berani berpendapat karena ini sedang dicoba. Karena sebelumnya belum pernah ada di dunia, ini adalah percobaan pertama di dunia bagaimana kalau ada pandemi kemudian divaksinasi," kata Siti Fadilah. "Menurut teori yang ada, kalau pada pademi seharusnya difokuskan pada terapi atau pengobatan untuk menurunkan Risk Fatality Rate . Misalkan risk fatality rate bisa nol, walaupun menular tapi tidak menimbulkan kematian maka itu sangat berbeda," katanya.
"Tapi sekarang, itu program nasional. Harus dilanjutkan tapi fokus ke terapi juga harus ditekankan," katanya. "Dan kemudian juga, ahli ahli statistik itu menghitung pengaruh vaksinasi ini terhadap banyaknya yang sakit, ataupun mobility maupun mortality yang ada saat ini dibandingkan sebelum vaksinasi. Itu para ahli statistik yang bisa melihat," katanya. "Jangan jangan setelah divaksin mereka kemudian abai tidak mau memakai Prokes (Protokol kesehatan). Itu juga kan bisa juga menjadi pengaruh," katanya.
Siti Fadilah menegaskan kembali bahwa yang terjadi di Spanyol itu adalah herd immunity alami bukan herd immunity yang diciptakan dari program vaksinasi. Herd immunity dari vaksin itu baru akan dicoba sekarang ini. Karena dunia belum pernah melakukannya sebelumnya," katanya. "Yang harus dilakukan adalah terapi atau pengobatan. Itu harus, mau nggak mau, pemerintah harus bisa menurunkan angka mortalitas atau Case Fatality Rate dengan apapun caranya. Saya kira banyak ahli ahli di Indonesia yang juga memikirkan itu," katanya.
Dan hal yang perlu dilakukan adalah mereview kembali apakah vaksinasi itu betul betul bisa melindungi masyarakat atau tidak. Kondisi pandemi sekarang ini menurut Siti Fadilah berbeda dengan situasi yang pernah dialami Indonesia pada saat flu burung. "Pada waktu flu burung, episentrumnya ada di Indonesia. Kalau pada Covid episentrumnya ada di Wuhan sana. Indonesia hanya dapat aliran dari Wuhan. Tapi waktu flu Burung episentrumnya di Indonesia. waktu itu bisa Kita lawan, bahwa keterangan yang mereka katakan bahwa Indonesia bisa ada pandemic itu bisa kita lawan dengan data data dari laboratorium dari virus yang kita periksa di Indonesia. Jadi tidak memenuhi syarat untuk Pandemi sehingga WHO waktu itu terus melangkah mundur lah tidak terus mendesak indonesia," katanya. "Itu adalah karena perjuangan tim dari Indonesia yang sangat berat dan kita berjuang di sana untuk perang diplomasi di WHO. Di mana kita boleh dikatakan melawan arusnya WHO yang ingin mengatakan episentrum pandemic ada di Indonesia. Saat itu juga kita bisa menjawab bahwa tidak ada episentrum pandemi di sini dan tidak ada flu burung di Indonesia maupun di manapun juga," katanya.
"Itu sesuatu yang patut disyukuri, bayangkan pada tahun 2006 Indonesia sudah dilanda. Dan kalau Indonesia mau Pandemic maka flu burung itu akan menyebar ke seluruh dunia. Indonesia berhasil mengubah rencana pandemic tersebut". "Kalau sekarang, karena pandemic itu dicetuskannya di Wuhan, Indonesia memang tidak bisa apa apa. Hanya yang bisa adalah kita harus berdaulat, kita harus yakin apa yang kita buat di sini untuk menghadapi Covid itu harus sesuai dengan kebutuhan kita dan keadaan kita. Bagaimana kita membuat kebijakan yang sesuai dengan kemampuan kita," katanya. Dalam perbincangan bersama dengan Profesor Nidom, Siti Fadilah Supari membahas tentang pandemi Covid 19 yang terjadi akhir akhir ini.
Dia membahas pandemi Covid 19 dan juga virus corona yang kini telah banyak bermutasi. Karena mutasi virus corona ini, sehingga masyarakat wajib untuk terus memakai masker dan menjaga protokol kesehatan. "Divaksin ataupun tidak divaksin, resikonya untuk terkena Covid itu sama dan (tingkat) kematiannya juga sama," kata Siti Fadilah Supari di kanal Youtube Siti Fadilah Supari Channel.
Profesor Nidom menyambung, "Bedanya kalau sudah divaksin, masyarakat jadi lebih abai (Protokol kesehatan)," katanya. "Harapan pemerintah, dengan 70 persen (masyarakat Indonesia) dia vaksin, 70 persen juga terjadi imunitas. Padahal itu tidak mungkin. Karena efikasinya, tidak ada yang 100 persen," kata Siti Fadilah Supari. "Hal hal yang kayak gini sebetulnya kan Scientific banget. Kenapa tidak ada yang bersuara kepada Menteri Kesehatan gitu, Jadi jangan You kejar yang 180 juta rakyat itu nanti Anda yang mengejar sesuatu yang tidak akan Anda dapet. Uang banyak keluar tapi korban akan cukup banyak," katanya.
Prof Nidom mengatakan, banyak tenaga kesehatan yang sudah divaksin lengkap juga terkena Covid 19. Seperti di Kudus, di Bangkalan, dan di beberapa daerah lain. Kurang lebih 350 orang tenaga kesehatan. Yang meninggal 15 orang. "Itu kenapa tidak diekspose, sehingga masyarakat tahu bahwa divaksin ataupun tidak divaksin risikonya untuk terkena Covid 19 itu sama, dan (tingkat) kematiannya juga sama," kata Siti Fadilah. "Bedanya kalau sudah divaksin, masyarakat jadi lebih abai pada penggunaan masker (Protokol kesehatan)," kata Prof Nidom menimpali.
"Kenapa Saya menginginkan program vaksin kovensional ini disetop dulu untuk dievaluasi. Kalau memang ini tidak menunjukkan hasil yang diharapkan ya sudah diganti. Kalau (tetap) mau vaksin. Kalau nggak yang tetap laksanakan Protokol kesehatan saja, dulu juga sebelum ada vaksin kan juga Prokes. Memang ada risiko tapi Prokesnya yang harus diperkuat, gitu" kata Prof Nidom. "Kalau saya bilang, bahwa mengendalikan virus itu mungkin saat ini untuk menghadapi Covid, flu, dan sebagainya itu tameng kita adalah masker," katanya. "Karena apa? Masker itu kan menghalangi masuknya virus ke hidung. Jadi dia mati di udara. Saya bilang, masker ini cara membunuh virus (secara) Sunatullah".
"Kalau kita biarkan tanpa masker, virus masuk ke dalam tubuh, kemudian di dalam tubuh digempur oleh Antibodi. Maka virus tidak mau mati sia sia. Di situ dia mulai mutasi," katanya. Vaksinasi juga turut berperan dalam mutasi virus. "Mutasi akibat vaksinasi ini juga cukup tinggi. Justru karena vaksinasi, mutasi akan lebih banyak," katanya. "Saya mungkin berbeda pendapat dengan para pengambil kebijakan. Tapi itu harus saya suarakan karena itu adalah keyakinan saya," kata Prof Nidom.
"Kita memang kadang kadang harus bersuara yang sesuai dengan hati nurasi kita dan sesuai dengan ilmu yang kita tekunin dan jangan takut. Maksudnya kita kan bukan untuk menghalang halangi tapi untuk agar bangsa ini mendapat treat (perawatan) yang terbaik," ucap Siti Fadilah.